Entri Populer

Friday, March 9, 2012

Rindu (2)

Aku masih di sini

Menantimu di bawah sinar rembulan
Melukis langitku dengan namamu
Membiarkan gelap meneduhkan wajahku
Menemaniku merindukanmu


Rindu (1)



Rindu aku akan adamu
Menyusup di rembulan, memancar lewat mataku
Akankah pesanku sampai padamu? 

Malam menggelapkan hasrat lekat-lekat
Buta hati, buta bahagia
Akankah cintaku menerangimu? 

Resahku lamat-lamat mengerjap
Meradang menjadi tak tertahan
Kasih, akankah rindu ini sampai padamu? 


 

 





Saturday, March 3, 2012

Kita Berjanji Bertemu di Jogja



Kita berjanji bertemu di Jogja
Merajut mimpi dan melayangkannya di sana
Di langit biru kala terik
Di langit hitam kala lampu-lampu jalan menyala

Kita berjanji menghabiskan pagi di Jogja
Membangunkan pagi mengelilingi desa
Berlari dengan kaki yang basah kena rumput alun-alun
Berhenti menikmati wangi manisnya jajanan kota
Sejenak menikmati simpang jalan yang semakin menua

Kita berjanji menaklukkan siang di Jogja
Berjalan lalu berlari meniti jalan hidup kita
Terus menggantungkan mimpi di atas kepala
Beramah tamah dengan terik yang selalu temani kita

Kita berjanji menghias sore di Jogja
Berkelana mencari cinta yang tersisa
Menikmati pantainya yang menyajikan biru langit dan samudera
Merasakan lembutnya belaian angin
Menanti waktu berlalu menunggu surya-Nya terbenam
Di balik gemericik air biru yang menjingga

Kita berjanji menikmati malam di Jogja
Bersepeda dan mengelilingi benteng tua, lampu kota, jalanan kita
Menyanyikan lagu asik dengan gitar klasik
Menyalakan lilin di bawah tenda
Menyeruput manisnya teh untukmu
Menyeruput wanginya kopi untukku
Menghentakkan tawa yang meledak-ledak
Mengulurkan senyum tanda bahagia
Di sebuah angkring kaki kita berpijak

Kita berjanji mengartikan sisa malam di Jogja
Berbaring di rerumputan basah
Melenggangkan mata menikmati sinar rembulan
Hanya di bukitnya kita temukan kilauan bintang
Meraba-raba arti gelap yang berjalan lambat
Menghentikan waktu kita untuk sejenak berehat
Merangkai lagi mimpi-mimpi yang harus kita kayuh esok hari

Kita berjanji bermimpi di Jogja
Aku dengan pena, kamu dengan kuas
Aku dengan hitamku, kamu dengan putihmu
Kita berjalan di jalan yang berbeda namun tetap senada

Kita berjanji bertemu di Jogja
Dan aku.. mengingkarinya,  





Di Ujung Jalan Sana (1)



Kembali pada sebuah harapan yang ternyata tak terwujud, sekali lagi karena skenarioku kalah dengan punya-Nya. “Skenarioku lebih menarik dari skenario-Nya !”, kataku marah mendapati jalan yang harus ku tempuh berseberangan dengan jalan yang dari dulu aku inginkan.
“Aku diterima di UI”, kataku lesu
“Alhamdulillah, selamat ya”, ia menanggapi dengan binar bahagia
“...”, aku mengernyitkan dahi, menatapnya dengan heran dan geram
 “kenapa?”
“...”, aku pergi dengan masih menatapnya heran dan geram sambil menghela napas dalam
***
Aku menghempaskan tubuhku sambil memeluk sebuah map berisikan berlembar-lembar kertas, berlembar-lembar foto, berlembar-lembar harapan yang harus aku kubur dalam-dalam. Sungkan rasanya untuk bertemu dengan Ibu yang belakangan ini selalu membawa keinginan dan kebanggaan di sinar matanya. Menuruti keinginannya sama saja dengan menghianati diriku sendiri. Namun menghancurkan bangunan harapannya sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Aku belum pernah merasakan sakit sesakit ini.
***
“kamu nyalahin ibu kamu?”, tanyanya dengan lembut dan hati-hati
“hm?”, sahutku dengan sejenak menatapnya lalu mencoba untuk tersenyum
“kamu nyalahin ibu sama ayah karena kamu diterima di psikologi UI? Nggak nyambung ast. Gini deh, coba sekarang tarik lagi benang kusutnya, cari dasar masalahnya”,ungkapnya dengan sabar
“ibu nggak ngijinin aku ambil kuliah jurusan sastra indonesia dengan bilang kalo masa depanku bakalan nggak jelas. Nyebelin kan? Seenaknya menjudge gitu aja”, kataku yang sebenarnya malas mengingat dan membicarakan masalah ini
“Trus, kamu diem aja tanpa ngasih argumen atau se-enggaknya coba ngeyel buat mempertahankan mimpi-mimpi kamu itu?”
“ Nggak lah. Selepas itu Ibu tanya, “mau jadi apa kamu?”, aku bilang dengan mantap, “penulis”, trus Ibu malah ketawa, aku tau itu ketawa meremehkan. Ibu bilang, “masa depan nggak jelas, jangan main-main sama masa depan”. “
“Trus?”
“Ya Udah”
“Beneran Cuma itu?”, katanya dengan senyum tanda menggoda
“Ayah bilang, “ayah sama ibu nggak selamanya hidup, ayah sama ibu nggak selamanya bisa ngebiayain masa depan kamu sama adek-adek. Kamu anaj pertama, ada dua tanggungan yang harus kamu pegang. Kalo masa depan kamu nggak jelas, gimana sama masa depan adek-adek?” “ aku diam, lalu melanjutkan, “intinya mereka nggak percaya sama aku !”
“Siapa yang sebenernya nggak percaya? Ayah sama Ibu kamu Cuma berpendapat, dan kamu juga punya hak kok buat menyanggah pendapat mereka, ngeyakinin mereka, tapi, apa? Kamu Cuma diem, trus nyimpulin kalo mereka nggak percaya sama kamu. Sekarang, siapa yang nggak percaya sama siapa?”, katanya mulai mengeras
“Trus kamu mau bilang kalo aku egois? Kalo aku yang salah?”
“Nggak ada yang salah dan nggak ada yang bener. Nggak ada dulu, yang ada Cuma sekarang”
“Menjalani sesuatu yang enggak kita sukai, dan meninggalkan sesuatu yang kita sukai. Lucu, hah”, aku tersenyum getir
“Ini yang namanya takdir,” katanya sambil tersenyum, lalu meneruskan, “takdir itu sesuatu yang udah terjadi.. tapi nggak ada yang perlu disesali selama kamu udah berusaha untuk mewujudkan skenario kamu, justru ini yang harus kamu ingat, skenario kamu nggak lebih baik dari skenario Dia. Awalnya berat sih, tapi coba aja jalani dulu. Skenario Dia emang misterius, nggak ada yang bisa ngerti sebelum mereka ngejalanin sampe episode terakhir. Hidup ini adalah ketika kamun ngerti maksud dari takdir yang udah Dia bikin, karena apapun yang terjadi pasti ada maksudnya, ada tujuannya. Dan sekarang tugas kamu tinggal jalani, enjoy, sampai nantinya kamu nemuin maksudnya. Ada sesuatu yang Dia mau tunjukkin ke kamu dengan kamu kuliah di psikologi, UI lagi. Ada sesuatu yang mau Dia tunjukkin ke kamu dengan “menggagalkan” skenario kamu buat masuk sastra indonesia”, lugas dan mengagumkan
“Takdir ya? Takdir yang seakan-akan aku yang bikin sendiri, tapi setelah dipahami, takdir ini banyak dapet campur tangan-Nya. Oke, bener kata kamu, ada maksud yang mau Dia tunjukkin, entah kapan aku bisa ngerti dan paham dan tau “apa”. Absurd. Aku pengen masuk sastra indonesia, Ibu nggak ngebolehin, harusnya alternatif tergampang adalah masuk pendidikan bahasa indonesia, atau sastra inggris kek yang lebih “jelas” kerjanya, yang penting masih ada sedikit hubungan lah, tapi kenapa aku milih psikologi? Jauh banget. Aku Cuma mau nulis, di psiko banyak ngomong, aku mau nulis bebas, di psiko nulis aja ribet harus sesuai teori ilmiah, bahh. Bodoh ! Iseng itu harusnya pake akal, nggak  sekedar iseng karena emosi berlebihan. Seandainya waktu itu aku lebih tenang dan relaistis, aku nggak mungkin gitu aja iseng. Emosi berlebihan udah nutup semua ke-realistis-anku. Bodoh !”, senyumku lebih getir
Kali ini aku biarkan tubuhku ditopang rumput liar yang dicukur  teratur, membiarkan tubuhku terlentang, membiarkan langit yang biru menjadi satu-satunya objek indera mataku. Langit biru, awan putih, sinar matahari yang tetap santun memperlihatkan diri tanpa terlalu menyilaukan. Angin dengan lembut meniup ujung kerudungku, juga mataku, membuatku terpejam beberapa detik sambil memikirkan semua yang ia ucapkan. Aku yakin Tuhan setuju dengan kata-katanya, aku juga, tapi tidak mudah untuk menjalankannya.
“Hidup kamu seperti sebuah lingkaran besar. Lihatlah lingkaran itu secara keseluruhan, secara utuh, masalah ini Cuma sebagian kecil dari seluruh bagian hidupmu. Jangan Cuma liat masalah itu terus, liat bagian lain, hidupmu lebih punya bagian yang lebih besar !”
“Sebuah takdir menunggu untuk ku jemput. Kedewasaan menunggu untuk ku gapai. Kebahagiaan menunggu untuk ku raih. Ada sesuatu/seseorang di sana yang turut menungguku datang menghampiri”, aku menghela napas panjang, “seandainya Tuhan memberitahuku apa sesuatu yang menungguku itu, pastilah aku lebih bersemangat untuk menjemputnya”, aku membuka mata dan duduk dengan memeluk lutut
“Yee, nggak asik dong. Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius, itu udah ketetapan. Nggak lucu banget kalo Tuhan bekerja kaya manusia, itu menandakan kalo Tuhan terbatas. Inget, Tuhan itu maha besar, maha tak terbatas ! nggak seperti manusia”
“Ya ya ya”, senyum legaku tertangkap oleh inderanya, ia merespons dengan ikut tersenyum dan menatapku lagi. Kali ini senyumnya hilang, yang  ada hanya dahi yang dikernyitkan
“Jelek !” kataku
“:)”, ia tersenyum
“A smile is a curve that sets everything straight”, kataku diiringi senyumsenyumsenyum, tak hanya senyum
“So?”
“Tunggu dulu. Gimana mimpi-mimpiku jadi penulis?”
“Kuliah ini Cuma empat tahun, banyak waktu buat ngejar mimpi-mimpi kamu. Akalin aja”
“Akalin”
“Masuk situ bukan berarti menghambat mimpi-mimpi kamu itu kan?”
“Nggak”
“Liat dengan kacamata positif. Liat dengan semua sudut pandang. And..”
“Don’t frown, you never know who is falling in love with your smile”, :)
“Hahaha”, aku dan ia tersenyum lepas (atau tertawa?). Angin semakin lembut membuatku sekali lagi memejamkan mataku. Ada sesuatu yang harus aku temukan, ada sesuatu yang harus aku jemput, ada sesuatu yang menungguku, dan, jika aku tetap diam, bagaimana aku akan tau siapa dan apa yang ada di ujung jalan sana? 


Friday, March 2, 2012

Sampai 2 Maret 2012


Baru menyadari sebuah anugerah
Yang dari dulu aku artikan sebuah musibah
Mencari hal yang dari dulu ada di sekitar
Menolak kebahagiaan yang dengan tulus disodorkan
Menangisi takdir yang tidak pernah terjadi
Melihat dari sudut pandang yang salah
Menerapkan teori yang keliru
Sampai menemukan "aku" yang "bukan aku"
Aku ingin berjalan mundur dan kembali, akankah mereka masih belum berpaling?
Biru muda dan putih, dan abu-abuku, masih tetap satu dalam balutan jejak pelangiku
:')
#Alhamdulillah, Kau izinkan aku menyesal dan bergegas menyadari, lalu kembali