Kembali pada sebuah
harapan yang ternyata tak terwujud, sekali lagi karena skenarioku kalah dengan
punya-Nya. “Skenarioku lebih menarik dari skenario-Nya !”, kataku marah
mendapati jalan yang harus ku tempuh berseberangan dengan jalan yang dari dulu
aku inginkan.
“Aku diterima di
UI”, kataku lesu
“Alhamdulillah,
selamat ya”, ia menanggapi dengan binar bahagia
“...”, aku
mengernyitkan dahi, menatapnya dengan heran dan geram
“kenapa?”
“...”, aku pergi
dengan masih menatapnya heran dan geram sambil menghela napas dalam
***
Aku menghempaskan
tubuhku sambil memeluk sebuah map berisikan berlembar-lembar kertas,
berlembar-lembar foto, berlembar-lembar harapan yang harus aku kubur
dalam-dalam. Sungkan rasanya untuk bertemu dengan Ibu yang belakangan ini
selalu membawa keinginan dan kebanggaan di sinar matanya. Menuruti keinginannya
sama saja dengan menghianati diriku sendiri. Namun menghancurkan bangunan
harapannya sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Aku belum pernah
merasakan sakit sesakit ini.
***
“kamu nyalahin ibu
kamu?”, tanyanya dengan lembut dan hati-hati
“hm?”, sahutku
dengan sejenak menatapnya lalu mencoba untuk tersenyum
“kamu nyalahin ibu
sama ayah karena kamu diterima di psikologi UI? Nggak nyambung ast. Gini deh,
coba sekarang tarik lagi benang kusutnya, cari dasar masalahnya”,ungkapnya
dengan sabar
“ibu nggak ngijinin
aku ambil kuliah jurusan sastra indonesia dengan bilang kalo masa depanku
bakalan nggak jelas. Nyebelin kan? Seenaknya menjudge gitu aja”, kataku yang
sebenarnya malas mengingat dan membicarakan masalah ini
“Trus, kamu diem
aja tanpa ngasih argumen atau se-enggaknya coba ngeyel buat mempertahankan mimpi-mimpi kamu itu?”
“ Nggak lah.
Selepas itu Ibu tanya, “mau jadi apa
kamu?”, aku bilang dengan mantap, “penulis”,
trus Ibu malah ketawa, aku tau itu ketawa meremehkan. Ibu bilang, “masa depan nggak jelas, jangan main-main
sama masa depan”. “
“Trus?”
“Ya Udah”
“Beneran Cuma
itu?”, katanya dengan senyum tanda menggoda
“Ayah bilang, “ayah sama ibu nggak selamanya hidup, ayah
sama ibu nggak selamanya bisa ngebiayain masa depan kamu sama adek-adek. Kamu
anaj pertama, ada dua tanggungan yang harus kamu pegang. Kalo masa depan kamu
nggak jelas, gimana sama masa depan adek-adek?” “ aku diam, lalu
melanjutkan, “intinya mereka nggak percaya sama aku !”
“Siapa yang
sebenernya nggak percaya? Ayah sama Ibu kamu Cuma berpendapat, dan kamu juga
punya hak kok buat menyanggah pendapat mereka, ngeyakinin mereka, tapi, apa?
Kamu Cuma diem, trus nyimpulin kalo mereka nggak percaya sama kamu. Sekarang,
siapa yang nggak percaya sama siapa?”, katanya mulai mengeras
“Trus kamu mau
bilang kalo aku egois? Kalo aku yang salah?”
“Nggak ada yang
salah dan nggak ada yang bener. Nggak ada dulu, yang ada Cuma sekarang”
“Menjalani sesuatu
yang enggak kita sukai, dan meninggalkan sesuatu yang kita sukai. Lucu, hah”,
aku tersenyum getir
“Ini yang namanya
takdir,” katanya sambil tersenyum, lalu meneruskan, “takdir itu sesuatu yang
udah terjadi.. tapi nggak ada yang perlu disesali selama kamu udah berusaha
untuk mewujudkan skenario kamu, justru ini yang harus kamu ingat, skenario kamu
nggak lebih baik dari skenario Dia. Awalnya berat sih, tapi coba aja jalani
dulu. Skenario Dia emang misterius, nggak ada yang bisa ngerti sebelum mereka
ngejalanin sampe episode terakhir. Hidup ini adalah ketika kamun ngerti maksud
dari takdir yang udah Dia bikin, karena apapun yang terjadi pasti ada
maksudnya, ada tujuannya. Dan sekarang tugas kamu tinggal jalani, enjoy, sampai
nantinya kamu nemuin maksudnya. Ada sesuatu yang Dia mau tunjukkin ke kamu
dengan kamu kuliah di psikologi, UI lagi. Ada sesuatu yang mau Dia tunjukkin ke
kamu dengan “menggagalkan” skenario kamu buat masuk sastra indonesia”, lugas
dan mengagumkan
“Takdir ya? Takdir
yang seakan-akan aku yang bikin sendiri, tapi setelah dipahami, takdir ini
banyak dapet campur tangan-Nya. Oke, bener kata kamu, ada maksud yang mau Dia
tunjukkin, entah kapan aku bisa ngerti dan paham dan tau “apa”. Absurd. Aku
pengen masuk sastra indonesia, Ibu nggak ngebolehin, harusnya alternatif
tergampang adalah masuk pendidikan bahasa indonesia, atau sastra inggris kek
yang lebih “jelas” kerjanya, yang penting masih ada sedikit hubungan lah, tapi
kenapa aku milih psikologi? Jauh banget. Aku Cuma mau nulis, di psiko banyak
ngomong, aku mau nulis bebas, di psiko nulis aja ribet harus sesuai teori
ilmiah, bahh. Bodoh ! Iseng itu harusnya pake akal, nggak sekedar iseng
karena emosi berlebihan. Seandainya waktu itu aku lebih tenang dan relaistis,
aku nggak mungkin gitu aja iseng. Emosi berlebihan udah nutup semua ke-realistis-anku.
Bodoh !”, senyumku lebih getir
Kali ini aku
biarkan tubuhku ditopang rumput liar yang dicukur
teratur, membiarkan tubuhku terlentang, membiarkan langit yang biru menjadi
satu-satunya objek indera mataku. Langit biru, awan putih, sinar matahari yang
tetap santun memperlihatkan diri tanpa terlalu menyilaukan. Angin dengan lembut
meniup ujung kerudungku, juga mataku, membuatku terpejam beberapa detik sambil
memikirkan semua yang ia ucapkan. Aku yakin Tuhan setuju dengan kata-katanya,
aku juga, tapi tidak mudah untuk menjalankannya.
“Hidup kamu seperti
sebuah lingkaran besar. Lihatlah lingkaran itu secara keseluruhan, secara utuh,
masalah ini Cuma sebagian kecil dari seluruh bagian hidupmu. Jangan Cuma liat
masalah itu terus, liat bagian lain, hidupmu lebih punya bagian yang lebih
besar !”
“Sebuah takdir
menunggu untuk ku jemput. Kedewasaan menunggu untuk ku gapai. Kebahagiaan
menunggu untuk ku raih. Ada sesuatu/seseorang di sana yang turut menungguku
datang menghampiri”, aku menghela napas panjang, “seandainya Tuhan
memberitahuku apa sesuatu yang menungguku itu, pastilah aku lebih bersemangat
untuk menjemputnya”, aku membuka mata dan duduk dengan memeluk lutut
“Yee, nggak asik
dong. Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius, itu udah ketetapan.
Nggak lucu banget kalo Tuhan bekerja kaya manusia, itu menandakan kalo Tuhan
terbatas. Inget, Tuhan itu maha besar, maha tak terbatas ! nggak seperti
manusia”
“Ya ya ya”, senyum
legaku tertangkap oleh inderanya, ia merespons dengan ikut tersenyum dan
menatapku lagi. Kali ini senyumnya hilang, yang ada hanya dahi yang
dikernyitkan
“Jelek !” kataku
“:)”, ia tersenyum
“A smile is a curve
that sets everything straight”, kataku diiringi senyumsenyumsenyum, tak hanya
senyum
“So?”
“Tunggu dulu.
Gimana mimpi-mimpiku jadi penulis?”
“Kuliah ini Cuma
empat tahun, banyak waktu buat ngejar mimpi-mimpi kamu. Akalin aja”
“Akalin”
“Masuk situ bukan
berarti menghambat mimpi-mimpi kamu itu kan?”
“Nggak”
“Liat dengan
kacamata positif. Liat dengan semua sudut pandang. And..”
“Don’t frown, you
never know who is falling in love with your smile”, :)
“Hahaha”, aku dan
ia tersenyum lepas (atau tertawa?). Angin semakin lembut membuatku sekali lagi
memejamkan mataku. Ada sesuatu yang harus aku temukan, ada sesuatu yang harus
aku jemput, ada sesuatu yang menungguku, dan, jika aku tetap diam, bagaimana aku
akan tau siapa dan apa yang ada di ujung jalan sana?
No comments:
Post a Comment