Banyak banget hal yang pernah gue lewati di dunia ini menimbulkan
tanda tanya besar yang seringkali membuat gue nggak
ngerti kenapa suatu hal bisa terjadi. Gimana Tuhan mengatur sebuah pertemuan antara gue dan
temen yang awalnya nggak saling mengenal, kemudian pertemuan selanjutnya
semakin mengenal, berlanjut menjadi sebuah pertemanan, dan akhirnya timbul rasa
saling menyayangi. Gimana Tuhan mengatur gue yang hanya seorang anak daerah
yang tadinya sempat berpikir nggak mungkin masuk UI, sekarang menjadi bagian
dari civitas akademika UI. Gimana Tuhan mengatur ayah dan ibu gue yang awalnya
dipisahkan oleh jarak, menjadi satu dalam ikatan sebuah keluarga. Mungkinkah
semua ini hanya kebetulan-kebetulan semata? Gimana Tuhan mempertemukan garis
hidup masing-masing individu yang akhirnya saling bersinggungan dan membentuk
garis hubungan?
Berawal dari papasan dan saling sapa, basa-basi
sambil gali informasi tentang pribadi masing-masing, saling lempar senyum untuk
ngilangin canggung, jadi awal
pertemuan gue dan temen-temen. Nggak pernah kebayang, orang-orang yang berbeda latar belakang bisa
saling mengenal, menghargai, menyayangi dan berbagi dengan tulus. Gimana Tuhan
menciptakan perasaan tulus ini disuguhkan untuk orang asing yang sebelumnya
nggak ada di kehidupan kita? Kenapa kita bisa
“kebetulan” hari itu bertemu dan pertemuan itu berlanjut menjadi hubungan yang
lebih interpersonal? Kenapa gue bertemu dengan temen gue yang ini dan bukan orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu masih
belum terjawab.
Universitas Indonesia
adalah universitas yang minim peminatnya di sekolah gue. Bukan karena kampus
kuning ini nggak berkualitas, tapi kualitasnya yang tak tertandingi di
Indonesia membuat anak-anak di sekolah gue minder dan enggan “membuang”
kesempatan emas berkuliah di universitas yang notabene jauh di bawah UI, yang
pasti terbuang jika kesempatan itu dipakai untuk memilih UI. Mereka pesimis,
dan hanya orang-orang yang pintar, berani, dan beruntunglah yang punya
kesempatan masuk UI. Kebetulan gue termasuk kategori yang terakhir yaitu beruntung, karena gue nggak
begitu pintar, dan juga nggak ngerti apa
sebenarnya yang ditguetkan orang-orang ketika memilih UI. Keyakinan gue waktu
itu adalah pasti nggak diterima di UI dan mungkin diterima di UNY (Universitas
Negeri Yogyakarta), kalaupun nggak diterima di keduanya, perguruan tinggi
swasta jadi alternatif
terakhir. Kadang gue
berpikir, betapa bahagianya orang yang nggak mengerti apa yang sebenarnya
dikhawatirkan orang lain. Dan begitulah cara Tuhan membuat gue mantap memilih
UI karena coba-coba dan ke-enggak-tahuan tentang ketguetan orang lain ketika memilih UI.
Saat gue menemukan kenyataan bahwa banyak temen-temen nggak berani memilih UI karena persaingannya yang
sangat ketat, gue merasa sangat bodoh dan seandainya ketika itu Tuhan
mempertemukan gue dengan orang-orang yang menyerah sebelum perang, mungkin gue akan terpengaruh dan nggak jadi memilih UI
dan alhasil mungkin gue akan berada di perguruan tinggi lain saat ini yang
kualitasnya mungkin jauh di
bawah UI. Lagi-lagi Tuhan membuat gue bertanya-tanya, kenapa gue bisa berada di universitas ini? Apa tujuan-Nya mempercayakan amanah ini kepada gue?
Hal ini yang paling
membuat gue geregetan karena kunjung nggak menemukan jawabannya. Pas gue nanya sama temen, “apakah sebenernya jodoh kita udah ditentuin?” teman gue bilang “Tuhan bilang, Dia nggak akan ngubah
nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang
ngerubahnya sendiri.” “Hmm, jadi kita
harus usaha buat
ngedapetin jodoh yang kita mau?” tanya gue lagi. “Iya, dan
tentunya harus sesuai sama kisi-kisi”
katanya disambut tawa. Tapi apa hanya
dengan perjuangan manusia mereka ngedapetin apa yang mereka inginkan? Gue rasa pastilah ada suatu kekuatan besar
yang mengatur semua ini terjadi, nggak ada yang kebetulan, pasti semua sudah
dirancang dengan teratur.
Ayah gue berasal dari
sebuah desa kecil di Padang Pariaman, Sumatera Barat sedangkan Ibu berasal dari sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah,
tadinya nggak mungkin banget mereka bisa ketemu karena jarak yang jauh dan nggak saling kenal. Nyatanya, mereka bisa
ketemu dan jadi sepasang
suami istri yang punya tiga anak cantik sampai saat ini
(halah). Karena penasaran, gue tanya langsung sama ayah kenapa
beliau bisa sampai di Wonosobo terus ketemu
sama ibu. Ayah bilang tujuannya
datang ke Wonosobo buat merantau (biasa kan, salah satu budaya orang Minang) dan kerja jadi intrukstur di BLK (Balai Latihan Kerja), tapi di
sela-sela ceritanya Ayah
nambahin informasi kalo tadinya hampir ditugasin
kerja di Mentawai, tapi karena
suatu alasan beliau berbalik kerja
di Wonosobo dan entah gimana
akhirnya ketemu sama Ibu dan akhirnya menikah
(ya, happy ending, happily ever after. Aaaa kapan giliran gue? #loh). Tanda
tanya besar otak penasaran gue mempertanyakan, gimana
caranya ayah gue berubah pikiran yang tadinya bakalan
kerja ke Mentawai jadi kerja di Wonosobo sampai akhirnya ketemu sama Ibu?
Pertanyaan itu pun nggak kunjung
terjawab. Gue paling suka dengerin cerita gimana seseorang bisa bertemu dan menjalin sebuah
hubungan interpersonal. Suatu kejadian yang menarik untuk dikaji, kenapa hari itu Tuhan membiarkan mereka bertemu dan
berhubungan, seakan-akan hari itu alam ingin
manusia-manusia ini bertemu. Lalu, keesokan harinya mereka nggak bertemu, dan
seakan-akan alam sedang nggak merancang sebuah pertemuan untuk manusia-manusia
ini.
Sampai sekarang gue pun
nggak tahu gimana cara
Tuhan membuat semua kejadian ini seakan-akan sebuah kebetulan-kebetulan, tetapi dari kebetulan-kebetulan itu
manusia menjadi lebih memahami gimana hidup
di alam semesta ini udah dirancang sedemikian rupa hingga akhirnya tercipta
garis-garis hidup individu yang saling bersinggungan dan membentuk sebuah garis
hubungan. Nyatalah semua ini menunjukkan ada suatu kekuatan maha dahsyat yang
mengatur alam semesta ini menjadi sebuah
keteraturan dan bekerja sesuai hukum alam. Satu yang gue tangkap, bahwa God
always works in a mysterious way, kita nggak bisa mereka-reka gimana sebuah takdir terjadi karena manusia sejatinya
hanya bisa berusaha dan berdoa untuk mendapatkan kemudahan dalam mengarungi
bahtera hidupnya. Dan, bahwa manusia
sangatlah terbatas dan harusnya bersikap tunduk pada yang maha tak terbatas.
No comments:
Post a Comment